Beberapa pengunjung warung internet (warnet)
SATU hal yang jarang menjadi pertimbangan konsumen dalam menggunakan peranti teknologi adalah bagaimana mempersiapkan diri dan menghindar dari ketergantungan terhadap satu jenis produk. Padahal, seperti pada kasus penggunaan perangkat lunak, hal ini membutuhkan proses belajar yang relatif lama.
Apa yang terjadi kemudian, tidak sedikit konsumen yang telanjur terbiasa dan memiliki frame pemikiran bahwa apa yang dimaksud perangkat lunak pengolah kata, pengolah data, pengolah grafik, dan animasi, adalah perangkat lunak yang bekerja pada sistem operasi Windows.
Bagaimana tidak, proses pengenalan itu sudah berlangsung lama dan akhirnya mengubah kebiasaan menjadi satu kendala sendiri bagi konsumen perangkat lunak untuk berpaling ke bentuk lain. Selama ini, semua terlihat berjalan alami sesuai dengan keinginan produsen. Seperti pada beberapa pengunjung warung internet (warnet) yang ditemui Pembaruan, mereka berpendapat sistem operasi yang mereka gunakan serta aplikasi perangkat lunak yang menyertainya sangat mudah digunakan (user friendly) dan lebih tangguh (powerful).
Tanpa bermaksud mengiklankan produk tertentu, para pengunjung internet itu mengaku menggunakan program aplikasi dengan sistem operasi Windows (under Windows).
Bila dilihat ke belakang, ketika pertama kali tersiar kabar bakal muncul sistem operasi Windows dengan setumpuk program aplikasi, sangat sulit dibayangkan program seperti apa yang dimaksud, karenanya, kalaupun ada yang mampu menyaingi perangkat lunak buatan Microsoft ini, gambaran orang tidak akan jauh berbeda dengan Windows.
Perlu juga diingat, tidak sedikit generasi yang melewati masa pendidikannya dengan menggunakan produk Microsoft dan banyak di antara mereka yang kini sudah memasuki lingkungan kerja. Untuk menghitung pengguna ini memang sangat sulit, tetapi bayangkan saja, saat ini hampir setiap kampus, khususnya di kota-kota besar, seperti Jakarta, terdapat warnet di sekitarnya. Bahkan, dari warnet-warnet itu, ada juga yang didirikan oleh sekelompok mahasiswa.
Pada satu kasus yang pernah ditemui Pembaruan, ada sekelompok mahasiswa yang menyewakan komputer dengan cara mengumpulkan komputer dari teman-temannya. Mereka hanya menyewa kamar, sedikit upaya menambah daya listrik, menggunakan saluran telepon rumah, dan jadilah sebuah warnet.
Pada penyewaan komputer secara kolektif itu, pada umumnya mereka lupa bahwa pemanfaatan perangkat lunak juga merupakan satu hal yang memerlukan dana karena ada hak kepemilikan yang harus dibayar. Fakta ini juga menunjukkan betapa tidak ada bedanya penggunaan perangkat lunak tidak resmi antara komputer pribadi maupun komputer yang disewakan.
Kondisi itu menggambarkan betapa mudahnya seseorang mendapatkan dan menggunakan perangkat lunak. Jadi, tidak heran kalau Business Software Alliance (BSA) mendapat data bahwa Indonesia berada di urutan kelima terbesar di Asia dalam hal pembajakan peranti lunak. Hal itu memang memalukan, meski Indonesia masih berada di bawah negara Vietnam yang berada di urutan pertama dan Cina yang di urutan kedua.
Terkait dengan penggunaan perangkat lunak tanpa izin ini, pihak Microsoft kemudian meluncurkan skema end user license agreement (EULA) yang merupakan aturan penggunaan perangkat lunak di tingkat pengguna akhir. Sayangnya, belum lagi skema ini dipahami masyarakat, EULA sudah digunakan sebagai dasar hukum dalam aksi penertiban penggunaan perangkat lunak terhadap sejumlah warnet. Pihak Microsoft sendiri, seperti yang diutarakan Direktur Small and Mid Market Solution and Partners Group PT Microsoft Indonesia, Megawaty Khie, menyatakan prihatin dengan dilema yang dihadapi warnet. Padahal, bidang usaha ini berjasa besar dalam menyediakan informasi luas bagi masyarakat Indonesia.
Bentuk keprihatinan itu diwujudkan dengan menggalang kerja sama pihak asosiasi dan penyedia teknologi lainnya, seperti Hewlett Packard dan Cisco System, kemudian membahas permasalahannya dengan melibatkan Asosiasi Warnet Indonesia (Awari). Alhasil, pihak Microsoft mengeluarkan skema lisensi khusus warnet yang disebut a rental agreement for internet cafe.
Skema ini juga bertujuan memberikan pelatihan pengembangan usaha kecil dalam bentuk entrepreneurship dengan harapan para pengelola warnet mampu menjalankan bisnisnya sesuai dengan ketentuan hokum, namun tetap mendapatkan keuntungan.
Usaha warnet yang telah mengadakan perjanjian lisensi ini berhak menyewakan komputer secara resmi. Perjanjian ini berlaku satu tahun sejak penandatanganan dan kemudian diperbarui kembali (renewal). "Setiap warnet itu mungkin memperbanyak atau mengurangi jumlah komputernya. Tetapi, kalau tidak berubah mungkin tidak ada tambahan," katanya.
Permohonan perjanjian ini pun dapat dilakukan secara on-line. Biayanya bergantung pada berapa banyak lisensi perangkat lunak yang akan digunakan. Setelah pengajuan, pihak Microsoft terlebih dulu mengunjungi lokasi dan kesiapan warnet yang bersangkutan.
Bagi penyedia jasa penyewaan komputer on-line yang dikenakan peraturan baru, kehadiran perjanjian lisensi ini tentu menjadi pertimbangan untuk tetap menekuni usaha ini. Alasannya, tidak semua pengunjung menjalankan perangkat lunak produk Microsoft saat menggunakan komputer di warnet. Bahkan, menurut Ketua Dewan Awari, Judith MS Lubis, sebanyak 90 persen pengunjung warnet hanya datang untuk bermain game.
Kehadiran perjanjian itu, bukan tidak mungkin, juga akan berimbas pada meningkatnya persaingan negatif di kalangan pebisnis penyewaan komputer yang selama ini sudah saling banting harga. Terlebih lagi jika, jumlah yang tidak membayar lisensi lebih besar daripada yang sudah membayar.
Kondisi ini memang sudah dipahami instansi terkait, seperti Kementerian Negara Riset dan Teknologi serta Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi. Sebuah upaya kerja sama kedua lembaga itu dengan Awari pun tengah digarap dengan menggandeng lembaga perguruan tinggi yang banyak menekuni bidang teknologi informasi, seperti Universitas Gunadarma Jakarta.
Kerja sama itu dimaksudkan untuk menciptakan open source gratis yang dapat digunakan masyarakat secara gratis. Dalam waktu dekat, hasil kerja sama itu akan diluncurkan dalam bentuk penyebaran 1.000 keping compact disk (CD) open source.
Namun, seperti yang dituturkan pemilik warnet, Sahala, terkait lisensi itu, sudah pasti akan berpengaruh pada pendapatan usaha miliknya. "Kebanyakan pengusaha warnet tidak mengetahui bidang teknologi informasi. Karenanya, warnet seperti ini yang rentan merugi, tetapi bagi mereka yang paham, tentu ada saja cara sehingga tidak merugi meski harus membayar lisensi yang harganya puluhan juta rupiah," katanya.
Pemilik warnet pemegang izin sudah pasti membagi beban biaya lisensi itu kepada pelanggannya dengan menaikkan tarif sewa. Seperti yang dilakukan pemilik warnet di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, Roy Parulian, akan menaikkan tarif usahanya dari Rp 6.000 per jam menjadi Rp 7.500 per jam.
Hal ini menjadi penting karena warnet merupakan salah satu bidang usaha yang berjasa meningkatkan pendidikan teknologi informasi di tengah-tengah masyarakat, dengan tarif ekonomis dan juga tersebar di banyak tempat. Bagaimana nasib warnet milik Roy dan Sahala nantinya? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar